JANGAN SEPERTI BAPAK
Sore itu kudapati Jay sudah berdandan rapi. Kemeja hitam
berpadu merah motif kotak-kotak serasi dengan blue jeans yang dia
kenakan. Wajah bersihnya tampak segar. Postur tubuh yang ideal, kulit putih dan
hidungnya yang mancung membuat gadis banyak yang naksir Jay. Apalagi dia pandai
bergaul dan selalu memperhatikan penampilan. Tak heran jika koleksi sepatunya
mengambil sepertiga bagian dari rak sepatuku.
“ Bu, aku mau main dulu.” Jay berpamitan. Kali ini tidak
pakai salim dan cium tangan, apalagi cium pipi seperti biasannya. Aku
mengizinkan dan menasihatinya untuk segera pulang dan jaga jarak serta
kebersihan.
“Ke mana saja Dik?,
Ayo , jangan lama-lama mainnya!” Kukirim pesan untuk Jay lewart WhatsApp. Kukirim
video dari instagram, tentang grafik perkembangan pandemik covid-19. Beberapa
menit kemudian dia menjawab dan menjelaskan kalau main di rumah temannya, hanya
berdua saja .
“Bu, aku sepertinya butuh banyak refreshing dulu. Aku tadi
nyoba belajar, habis itu pusing walau sudah nggak mikir. Mungkin sisa kemarin
banyak kuis dan tugas, jadinya capek.” Jay kembali menjelaskan, aku pun segera
membalasnya: “Ibu juga nggak minta dan mengharuskan adik belajar terus ... semampunya,
porsi disesuikan. Tapi kalau keluar ya jangan lama-lama ... kondisi seperti
ini. Boleh refreshing, tapi kan tidak mesti ke luar rumah, Dik...”
Dik adalah sapaan
mesraku untuk Jay, karena dia anak kedua sekaligus bungsu. Dua jam sudah Jay ke
luar rumah dan belum pulang juga. Ku buka
kembali handphone. Rupanya dia sudah menjawab: “Iya,...hari ini anak-anak pada
baru pulang Bu, nggak di keramaian kok Bu ...”. Aku paham betul yang dimaksud
dia dengan anak-anak adalah sahabat
karibnya semasa SMP. Mereka bertujuh, empat cowok dan tiga cewek. Persahabatan
mereka tampak masih bertahan utuh hingga di bangku kuliah, walau mereka sudah
tersebar diberbagai kota. “Ya udah, pakai masker. Mereka yang baru pulang kan
habis dari perjalanan.” Jawabku.
Malam itu terasakan lama. Kulihat
jam di handphone menunjukkan pukul 21:18 WIB. Kuminta dia segera pulang. Lima
belas menit belum juga terjawab. Kukirim
lagi pesan untuknya, aku benar-benar kesal dan marah. Aku minta dia untuk tidak
membantah. “Ya, sebentar...” kata Jay merajuk.
“Tak cubit lho, Bapak dan Mas bolak-balik menanyakan ....” Pesanku
belum juga terbaca. Kukirim kembali
video tentang covid-19 berdurasi 10.00 menit, dan kembali kukirim pesan
untuknya dengan hati dongkol: “Jangan bandel Dik....”
Malam makin larut . Terasakan hening. Aku makin resah.
Kembali kukirim pesan untuk Jay, kulengkapi emogi menangis pertanda kecewa ,
sangat jengkel, tapi tak terbaca juga. Kembali
kukirim video berdurasi 8.34 menit dan foto sebaran virus di Provinsi Jawa
Timur, hanya centang satu.
“Kurang lama ya? Kurang malam?” lanjutku makin emosi karena
tak terbaca kiriman-kirimanku. Kembali kukirim postingan dari Facebook, dan aku
sreenshoot bagian isi yang terpenting, masih juga centang satu. “Istighfar
Dik...” ungkapan kejengkelanku, masih juga centang satu.
Aku marah, aku lelah...Kubaringkan tubuhku. Tak lama kemudian
dia datang. aku diam membelakanginya. Aku berencana akan memarahinya.
Kudengar suara dia masuk kamar, aku
masih juga diam. Aku masih geram, gemuruh kecewa beraduk marah membara dalam
dada. Semua itu berakar rasa khawatir dan kasihsayangku untuknya.
Dia menghampiri, aku masih juga diam. Sesaat hening,
kurasakan Jay mendekatiku, dan mencium pipiku lalu dia bilang: “Maaf Bu,
bateraiku tadi habis....” Aku luluh juga....Tadinya aku mau merencanakan tidak
akan menyapanya semalaman, biar dia tahu semarah apa aku.
Jay memang selalu begitu, pandai mengambil hatiku. Akhirnya
akupun menasihatinya: “Dik..., jangan gitu..., kondisi seperti ini lho... ikutilah
apa yang dihimbaukan oleh pemerintah. Taati itu semua.... Ibu yakin, pembuat
kebijakan adalah orang-orang pintar, penuh pertimbangan dalam memutuskan
sesuatu. Sudahlah...di rumah saja, social distancing.Yang disiplin...
sekali lagi, ikutilah himbauan ataupun peraturan dari pemerintah!” tegasku.
Pandai bergaul dan romantis, itulah
sebagian karakter Jay. Sempat suatu kali saat dia berada di kantin kampus, dia
mengirimkan foto kolam yang ada bunga lotusnya. Dia ingat kalau aku suka banget
sama bunga itu.
Sering kami jalan-jalan hanya berdua
saja untuk sekedar refreshing dan cari makan. Sore itu kami ingin cari kesempatan
ngobrol dan tempat kuliner yang kami suka. Salah satu cafe di jalan utama
tengah kota menjadi tujuan kami.
Sedan hitam kami melaju pelan, dia yang megang setir memilih
tempat parkir yang strategis di Selatan jalan. Untuk menuju cafe tersebut kami
harus menyeberang. Dia dengan sabar, merangkul pundakku untuk menyeberang. Saat
memesan menu, dia pun sudah tahu kesukaanku, yaitu karedok dan jus apokat. Dia
paham betul kalau aku paling suka makanan yang banyak sayurannya.
“Dik, yang pinter bergaul ya...,
kata para pakar, faktor ini kan yang paling berpengaruh untuk menjadi orang
sukses. Banyak berdoa untuk bisa memiliki kelembutan hati, supaya selalu peka
terhadap lingkunganmu.” Itu sebagian nasihatku untuk Jay.
“ Dik, tidak usah kamu pikirkan
terlalu jauh tentang masa depanmu, karena itu tidak baik dan tidak bermanfaat.
Malah membebanimu, bahkan bisa mengganggu pikiran yang berdampak bagi kesehatan
fisikmu. Yang penting, saat ini yang bisa kamu lakukan apa, berusahalah yang
terbaik. Saat ini, hari ini...tidak perlu besok atau lusa. Besok atau lusa,
juga dipengaruhi dari kualitasmu hari ini. Nikmatilah prosesmu Dik, karena
tidak akan terulang lagi. Dia akan berlalu bersama waktu.
“Dik, yang ikhlas dan sabar
menjalani proses kehidupanmu. Banyak berdoa, kami semua juga selalu mendoakan
kebaikanmu. Semua harus berproses, tidak ada yang instan, dan memang perlu
kerja keras. Yakinlah perjuanganmu tidak akan sia-sia dan pasti akan membuahkan
hasil.
“Dik, masih ingat lagu yang dikirimkan
Bapak beberapa hari yang lalu? Perhatikan liriknya ya Dik...
Nak, janganlah seperti Bapak
Yang susah mewujudkan mimpinya
Besarlah dengan semua harapan yang kamu miliki
Ku iringi doa dari hati kami
Nak, maafkanlah Bapakmu
Jikalau ada yang kurang dariku
Jagalah cinta dan sebarkanlah dengan nurani jiwa
Yang akan meneduhkan semesta
Terbanglah terbang melambung ke angkasa
Turuti apa kata hatimu
Tinggilah tinggi dan seperti matahari
Menyinari seisi dunia
Nak, janganlah seperti Bapak
“Tidak usah kamu risaukan tentang kamu nanti jadi apa. Kamu
kuliah di arsitektur, apakah harus jadi seorang arsitek? Tentu saja tidak. Kamu
bisa jadi dosen atau yang lainnya. Tidak
untuk kamu pikirkan saat ini. Yakinlah , semua ilmu yang kamu peroleh pasti
banyak manfaatnya bagi kehidupan, untuk itu bersungguh-sungguhlah.
“Kamu tentunya juga tahu, banyak tokoh politik dan pemimpin di negeri ini yang latar
belakang pendidikannya di arsitektur. Bersyukur ya Nak, kamu menjadi bagian
dari kampus teknik terbaik, dengan jurusan yang tergolong favorit juga. Segala
kesulitan pasti ada solusi. Teruslah berjuang untuk menggapai mimpimu. Semoga
Allah memudahkan jalanmu. Teruslah menjadi Jay yang romantis, pandai bergaul
dan percaya diri karena selalu ada Allah Yang Maha pengatur segala urusan dan pemberi
rezeki.”
Nasihat panjang dan doaku yang
selalu mengalir, menjadi bagian teramat penting untuk Jay. Berproses dan meraih
mimpi yang tinggi. Itulah harapan terindahku untuk Jay.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar