Senin, 28 September 2020

JANGAN SEPERTI BAPAK

 

JANGAN SEPERTI BAPAK

 

            Sore itu kudapati Jay sudah berdandan rapi. Kemeja hitam berpadu merah motif kotak-kotak serasi dengan blue jeans yang dia kenakan. Wajah bersihnya tampak segar. Postur tubuh yang ideal, kulit putih dan hidungnya yang mancung membuat gadis banyak yang naksir Jay. Apalagi dia pandai bergaul dan selalu memperhatikan penampilan. Tak heran jika koleksi sepatunya mengambil sepertiga bagian dari rak sepatuku.

“ Bu, aku mau main dulu.” Jay berpamitan. Kali ini tidak pakai salim dan cium tangan, apalagi cium pipi seperti biasannya. Aku mengizinkan dan menasihatinya untuk segera pulang dan jaga jarak serta kebersihan.

 “Ke mana saja Dik?, Ayo , jangan lama-lama mainnya!” Kukirim pesan untuk Jay lewart WhatsApp. Kukirim video dari instagram, tentang grafik perkembangan pandemik covid-19. Beberapa menit kemudian dia menjawab dan menjelaskan kalau main di rumah temannya, hanya berdua saja .

“Bu, aku sepertinya butuh banyak refreshing dulu. Aku tadi nyoba belajar, habis itu pusing walau sudah nggak mikir. Mungkin sisa kemarin banyak kuis dan tugas, jadinya capek.” Jay kembali menjelaskan, aku pun segera membalasnya: “Ibu juga nggak minta dan mengharuskan adik belajar terus ... semampunya, porsi disesuikan. Tapi kalau keluar ya jangan lama-lama ... kondisi seperti ini. Boleh refreshing, tapi kan tidak mesti ke luar rumah, Dik...”

Dik  adalah sapaan mesraku untuk Jay, karena dia anak kedua sekaligus bungsu. Dua jam sudah Jay ke  luar rumah dan belum pulang juga. Ku buka kembali handphone. Rupanya dia sudah menjawab: “Iya,...hari ini anak-anak pada baru pulang Bu, nggak di keramaian kok Bu ...”. Aku paham betul yang dimaksud dia dengan anak-anak  adalah sahabat karibnya semasa SMP. Mereka bertujuh, empat cowok dan tiga cewek. Persahabatan mereka tampak masih bertahan utuh hingga di bangku kuliah, walau mereka sudah tersebar diberbagai kota. “Ya udah, pakai masker. Mereka yang baru pulang kan habis dari perjalanan.” Jawabku.

            Malam itu terasakan lama. Kulihat jam di handphone menunjukkan pukul 21:18 WIB. Kuminta dia segera pulang. Lima belas menit belum juga  terjawab. Kukirim lagi pesan untuknya, aku benar-benar kesal dan marah. Aku minta dia untuk tidak membantah. “Ya, sebentar...” kata Jay merajuk.

“Tak cubit lho, Bapak dan Mas bolak-balik menanyakan ....” Pesanku belum juga terbaca.  Kukirim kembali video tentang covid-19 berdurasi 10.00 menit, dan kembali kukirim pesan untuknya dengan hati dongkol: “Jangan bandel Dik....”

Malam makin larut . Terasakan hening. Aku makin resah. Kembali kukirim pesan untuk Jay, kulengkapi emogi menangis pertanda kecewa , sangat  jengkel, tapi tak terbaca juga. Kembali kukirim video berdurasi 8.34 menit dan foto sebaran virus di Provinsi Jawa Timur, hanya centang satu.

“Kurang lama ya? Kurang malam?” lanjutku makin emosi karena tak terbaca kiriman-kirimanku. Kembali kukirim postingan dari Facebook, dan aku sreenshoot bagian isi yang terpenting, masih juga centang satu. “Istighfar Dik...” ungkapan kejengkelanku, masih juga centang satu.

Aku marah, aku lelah...Kubaringkan tubuhku. Tak lama kemudian dia datang. aku diam membelakanginya. Aku berencana akan memarahinya.

            Kudengar suara dia masuk kamar, aku masih juga diam. Aku masih geram, gemuruh kecewa beraduk marah membara dalam dada. Semua itu berakar rasa khawatir dan kasihsayangku untuknya.

Dia menghampiri, aku masih juga diam. Sesaat hening, kurasakan Jay mendekatiku, dan mencium pipiku lalu dia bilang: “Maaf Bu, bateraiku tadi habis....” Aku luluh juga....Tadinya aku mau merencanakan tidak akan menyapanya semalaman, biar dia tahu semarah apa aku.

Jay memang selalu begitu, pandai mengambil hatiku. Akhirnya akupun menasihatinya: “Dik..., jangan gitu..., kondisi seperti ini lho... ikutilah apa yang dihimbaukan oleh pemerintah. Taati itu semua.... Ibu yakin, pembuat kebijakan adalah orang-orang pintar, penuh pertimbangan dalam memutuskan sesuatu. Sudahlah...di rumah saja, social distancing.Yang disiplin... sekali lagi, ikutilah himbauan ataupun peraturan dari pemerintah!” tegasku.

            Pandai bergaul dan romantis, itulah sebagian karakter Jay. Sempat suatu kali saat dia berada di kantin kampus, dia mengirimkan foto kolam yang ada bunga lotusnya. Dia ingat kalau aku suka banget sama bunga itu.

            Sering kami jalan-jalan hanya berdua saja untuk sekedar refreshing dan cari makan. Sore itu kami ingin cari kesempatan ngobrol dan tempat kuliner yang kami suka. Salah satu cafe di jalan utama tengah kota menjadi tujuan kami.

Sedan hitam kami melaju pelan, dia yang megang setir memilih tempat parkir yang strategis di Selatan jalan. Untuk menuju cafe tersebut kami harus menyeberang. Dia dengan sabar, merangkul pundakku untuk menyeberang. Saat memesan menu, dia pun sudah tahu kesukaanku, yaitu karedok dan jus apokat. Dia paham betul kalau aku paling suka makanan yang banyak sayurannya.

            “Dik, yang pinter bergaul ya..., kata para pakar, faktor ini kan yang paling berpengaruh untuk menjadi orang sukses. Banyak berdoa untuk bisa memiliki kelembutan hati, supaya selalu peka terhadap lingkunganmu.” Itu sebagian nasihatku untuk Jay.

            “ Dik, tidak usah kamu pikirkan terlalu jauh tentang masa depanmu, karena itu tidak baik dan tidak bermanfaat. Malah membebanimu, bahkan bisa mengganggu pikiran yang berdampak bagi kesehatan fisikmu. Yang penting, saat ini yang bisa kamu lakukan apa, berusahalah yang terbaik. Saat ini, hari ini...tidak perlu besok atau lusa. Besok atau lusa, juga dipengaruhi dari kualitasmu hari ini. Nikmatilah prosesmu Dik, karena tidak akan terulang lagi. Dia akan berlalu bersama waktu.

            “Dik, yang ikhlas dan sabar menjalani proses kehidupanmu. Banyak berdoa, kami semua juga selalu mendoakan kebaikanmu. Semua harus berproses, tidak ada yang instan, dan memang perlu kerja keras. Yakinlah perjuanganmu tidak akan sia-sia dan pasti akan membuahkan hasil.

            “Dik, masih ingat lagu yang dikirimkan Bapak beberapa hari yang lalu? Perhatikan liriknya ya Dik...

Nak, janganlah seperti Bapak
Yang susah mewujudkan mimpinya
Besarlah dengan semua harapan yang kamu miliki
Ku iringi doa dari hati kami

Nak, maafkanlah Bapakmu
Jikalau ada yang kurang dariku
Jagalah cinta dan sebarkanlah dengan nurani jiwa
Yang akan meneduhkan semesta

Terbanglah terbang melambung ke angkasa
Turuti apa kata hatimu
Tinggilah tinggi dan seperti matahari
Menyinari seisi dunia

Nak, janganlah seperti Bapak

“Tidak usah kamu risaukan tentang kamu nanti jadi apa. Kamu kuliah di arsitektur, apakah harus jadi seorang arsitek? Tentu saja tidak. Kamu bisa jadi dosen atau yang lainnya.  Tidak untuk kamu pikirkan saat ini. Yakinlah , semua ilmu yang kamu peroleh pasti banyak manfaatnya bagi kehidupan, untuk itu bersungguh-sungguhlah.

“Kamu tentunya juga tahu, banyak tokoh  politik dan pemimpin di negeri ini yang latar belakang pendidikannya di arsitektur. Bersyukur ya Nak, kamu menjadi bagian dari kampus teknik terbaik, dengan jurusan yang tergolong favorit juga. Segala kesulitan pasti ada solusi. Teruslah berjuang untuk menggapai mimpimu. Semoga Allah memudahkan jalanmu. Teruslah menjadi Jay yang romantis, pandai bergaul dan percaya diri karena selalu ada Allah Yang Maha pengatur segala urusan dan pemberi rezeki.”

            Nasihat panjang dan doaku yang selalu mengalir, menjadi bagian teramat penting untuk Jay. Berproses dan meraih mimpi yang tinggi. Itulah harapan terindahku untuk Jay.

 

***

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MERDEKA BELAJAR SEBAGAI SOLUSI MENGHADAPI COVID-19

  MERDEKA BELAJAR SEBAGAI SOLUSI MENGHADAPI COVID-19   A. MERDEKA BELAJAR           Istilah Merdeka Belajar diluncurkan pertama kali...