Senin, 28 September 2020

YANG TERPILIH

 


 

Dari balik jendela di kamarku
Menyelinap seberkas cahaya
Hingga ku terjaga segera ...
             Syair lagu tahun sembilan puluhan itu mengingatkanku pada Bram. Anak sulungku itu pernah bercerita kalau masa kecil yang paling diingat adalah saat pagi, aku menyanyikan lagu itu untuknya. Dua puluh satu tahun yang lalu. “Ayo, bangun sayang...,” rayuku sambil menggendong Bram mungil berkulit putih dan hidung mancung. Senyum ceria, dan bening binar matanya membuat hari-hari kami semakin indah.

Selepas lulus SMA, Bram diterima di fakultas perikanan pada sebuah perguruan tinggi negeri di Jawa Timur. Sebelum masa perkuliahan, Bram berangkat lebih awal untuk segera mencari tempat kos, karena mengikuti bimbingan seleksi masuk sekolah kedinasan terfavorit dan terbanyak peminatnya di tanah air.

“ Alhamdulillah Bu..., aku lolos tahap tes tulis dan beberapa hari lagi tes kebugaran” kata Bram melalui WhatsAppnya. Aku putuskan segera berangkat ke kota dingin itu  untuk mendampingi Bram pada tahap seleksi berikutnya. Aku sendirian naik bus, sore sudah sampai dan Bram pun siap menjemput dengan motornya. Hujan cukup deras, membuat kami basah dan mampir ke warung kecil. Teh hangat sudah cukup untuk menemani ngobrol.

Keesokan harinya, dini hari kami sudah siap melaju ke tengah kota.“Permisi Pak, bolehkan saya ikut masuk untuk memberi motivasi anak saya?” tanyaku kepada panitia pelaksana yang ada di tribun stadion hijau itu. “Ohya Bu, silahkan...” jawabnya.  Ribuan keluarga dari peserta seleksi, semuanya menunggu di luar area yang berbatas anyaman kawat besi.

Kulihat Bram mempersiapakan diri di antara peserta lainnya. Mereka mengenakan kaos seragam biru muda, bertuliskan angka dan huruf hitam. “Ayo Nak...semangat...!” teriakku berkali-kali sambil tepuk tangan saat Bram melalui depan posisiku. Dia tersenyum sejenak dan terus berlari, dan berlari. Terik mentari yang menyengat tubuh, tak kupedulikan.

Akhirnya, tercapai sudah obsesi Bram untuk masuk di kampus megah di bilangan Bintaro. Semester awal terlampaui dengan mulus. Menjelang semester dua, Bram mengutarakan keinginannya untuk mengundurkan diri dari tempat kuliahnya itu. Tentu saja kami sekeluarga tidak memberikan izin. “Nak, jangan...Ibu khawatir nanti kamu menyesal, itu kan pilihanmu sendiri, dan jurusanmu itu juga yang paling favorit...” ucapku.

            Semester awal, Bram terseleksi menjadi pengajar pada sebuah bimbel masuk kampus elitnya. Pada semester berikutnya terseleksi menjadi pengajar ngaji. Kadangkala dia membeli gamis atau kurta dari uang tabungan hasil kegiatannya itu. Ekstra keagamaan dan rumah Qur’an yang dia ikuti menjadikan dia semakin cinta dan haus belajar agama.

Suatu malam Bram menyampaikan kabar gembira:“Bu, kalau ngabarin tentang hasil lomba, bukan riya’ kan? Dengan catatan kabarnya cukup sampai keluarga aja, biar aman dari fitnah dan rasa dengki orang lain.” Dia menyertakan sebuah foto selembar sertifikat warna putih tulang.  MasyaAllah, berbinar bahagia aku membacanya. Bram juara satu Musabaqoh Tilawatil Qur’an dalam rangka Lomba Festival Seni dan Budaya Islam di kampus. Segera kukabarkan berita itu kepada seisi rumah.

“Alhamdulillah Nak...selamat ya sayang...” ucapku. “Ada amplopnya Bu, belum aku buka, ” ucap Bram menambahkan. Aku balas dengan emogi senyum manis, jempol dan cium mesra. “Nak, ini Ibu lagi sama Mbah Uti, beliau nangis terharu bahagia....” Aku menceritakan, betapa kami yang di rumah bahagia. Mbah Uti adalah panggilan untuk neneknya.  Nenek yang mengasuhnya waktu kecil saat aku harus bekerja. Nenek yang telah memberi warna dalam pendidikan dan kepribadian Bram.

Prestasi Bram makin cemerlang. Dia berkesempatan mewakili kompetisi antar kampus  kedinasan hingga memeroleh kejuaraan tahfiz.Tentu saja aku memberikan apresiasi untuk prestasinya.

Tiba saatnya Bram menjalani kuliah hingga di tahap akhir, yaitu semester enam. Kuperhatikan saat Bram berangkat PKL di kantor besar dan megah di tengah kota kami. Seragam atasan biru muda, bercelana biru tua, rapi dengan sepatu baru dan tanda pengenal mahasiswa bertali kuning. Tentu saja kami senang dan bangga karenanya.

Berangkat ke kantor sekitar pukul setengah tujuh, pulang hampir maghrib. Bram tampak letih dan lelah, tanpa keceriaan sama sekali. Pekan kedua, makin murung dan mulai uring-uringan. Pernah kudapati dia mimisan. Hatiku mulai gundah, dan khawatir.

Saat malam, kami di kamar bertiga, aku, Bram dan adiknya Bram, Jay namanya. Bram memulai pembicaraan: ”Bu, tolong jangan tidur dulu, aku mau bicara” kata Bram. Aku merasa gundah, pasti ini mulai lagi membahas tentang perkuliahan. Aku masih diam tidak menjawab, tiduran membelakangi Bram. Berharap Bram tidak melanjutkan pembicaraan yang aku sudah tahu arahnya.

“Bu..., sudah lebih dari dua tahun aku nuruti ibu.... Aku berhak memilih jalanku sendiri. Apa Ibu bisa menjamin agamaku selamat kalau aku tetap di situ?” Bram meneruskan bicaranya, aku masih terdiam. Dadaku terasa berdebar kencang, tercekat.

“Bu...” Bram masih juga memanggilku memohon penuh harap. Akhirnya aku jawab juga dengan berat hati: “Apa lagi Nak? Ibu kan sudah jelaskan dulu di surat panjang itu” ucapku pelan dengan emosi tertahan. Jay mendengarkan terdiam.

“Bu, aku merasa tidak cocok dengan pekerjaan itu, aku tidak ingin jadi PNS. Jam kerjanya seperti ini, bagaimana dengan ibadahku? Aku tidak nyaman kerja berbaur dengan lawan jenis, belum lagi kadang harus mengikuti acara yang aku merasa tidak pas.

“Habis ini menyusun karya tulis, berarti aku berkontribusi ilmu di bidang ini, dan aku tidak mau itu terjadi. Setelah lulus nanti, lalu penempatan. Aku tidak mau terima gajinya. Jika aku tidak mau menjalani, Ibu habis banyak untuk mengganti biaya saat kuliah.”

Ungkapan Bram membuat kami semua terdiam.Malam hening makin larut terasakan sangat panjang. Suara detak jam dinding, membuat suasanya dan hatiku makin tidak karuan.

“Bu, aku ingin mondok ..., apa Ibu tidak ingin kupakaikan mahkota di surga?” Masyaallah..., kalimat Bram ini membuat hatiku menangis, terharu bahagia. “Nak..., mungkin seribu satu yang sepertimu. Dan, mungkin juga seribu satu yang seperti ibu. Ya sudah sana...bilang Bapak. Dan, kamu harus pikirkan matang-matang dengan segala konsekuensi dari pilihanmu, tidak boleh menyesal di kemudian hari!” jawabku tegas.

            Suasana di rumah makin tidak nyaman, di kantor pun demikian. Rekan-rekan kerjaku yang kebetulan dulu guru Bram, hampir semuanya bereaksi negatif, bahkan ada yang mencibir memberiku komentar yang pedas dan menganggap keputusan Bram adalah suatu kebodohan. Aku sudah tidak peduli semuanya. Bahkan aku menulis pengunduran diriku untuk menduduki suatu jabatan. Aku harus kuat. Bram harus aku dampingi untuk meraih mimpi berikutnya, masuk pondok pilihannya. Bram sangat butuh ridho dan doa kami orangtuanya.

Jay kelihatan sangat kecewa dengan keputusan kakaknya. “Bu, percuma aku belajar, Mas kok begitu...” ujarnya dengan nada marah. Jay sejak kelas X sudah mempersiapkan diri meniti jejak Bram dengan mengikuti tryout dan hasilnya sangat bagus.

“Nak, Mas Bram berhak memilih jalan hidupnya. Mas Bram sudah tidak minat, bahkan sepertinya tersiksa. Kemarin sampai mimisan kan?. Semua pasti ada hikmahnya, ini proses yang panjang dan tidak ada yang sia-sia. Mas lebih mengerti agama karena kuliah di sana.” Aku berusaha untuk memberi pengertian pada Jay.

            Seisi rumah, suamikulah yang paling nampak kecewa dan marah. Hampir dua minggu tidak saling sapa dengan Bram. Dia marah dan kecewa, hingga seisi rumah kena dampaknya. Kadang masih mengungkit-ungkit saat perjuangan bersama Bram untuk mendaftar bimbingan hingga daftar ulang serta mencari tempat kos di sekitar Jalan Kalimangso. Dia sangat menyayangkan keputusan Bram.

Suatu sore,  di teras belakang rumah, aku duduk mendekati suamiku. Hari-hari belakangan sikapnya terhadapku pun tidak seperti biasanya, kelihatan acuh. Aku memulai percakapan: “Mas..., njenengan biasa mersani TV tho? (Mas..., kamu biasa melihat TV kan?)” Dia tetap diam, murung dan sedikit cemberut.

“Mas..., berapa pejabat tinggi yang dipenjarakan? bupati, gubernur, direktur-direktur? Di mana letak bahagia mereka? keluarganya? Sudah tidak ada kedudukan, kehormatan, belum lagi tanggungjawab di akherat kelak. Semua itu karena harta...harta, kedudukan yang melalaikan dan tak ada berkesudahan untuk mendapatkannya.” Suasana tetap hening.

Suamiku masih juga terdiam, tidak sedikitpun menoleh padaku. Kupandangi wajahnya yang tampak lebih tirus, tulang pipi makin menonjol. Rupa-rupanya terasakan berat betul beban pikiran yang dipikulnya. Ya Allah...berikan kesehatan, petunjuk, dan kelembutan hati bagi suamiku... dalam hatiku berucap penuh harap.

Dengan nada pelan dan rendah, aku kembali berkata: “Setiap ada peristiwa kelahiran, doa yang mengalir adalah ‘semoga kelak menjadi anak sholeh sholehah’ bukan menjadi kaya atau berkedudukan.  Dan, Bram anak kita...semoga menjadikan doa kita semua terkabulkan. Dia juga bisa membimbing Jay untuk lebih baik. Merekalah yang akan mendoakan kita kelak....”.Kupandangi terus suamiku penuh harap, ada kilau bening di matanya.

Penuh puji syukur kepada Allah, sikap suamiku berubah seratus delapan puluh derajat. Saat aku mengirim paket makanan dan kebutuhan harian untuk Bram, dia sangat antusias, semangat dan penuh perhatian. Tidak hanya itu, dia makin sering berjamaah ke masjid. Jay pun demikian, makin sering ke masjid dan ikut pengajian.

Setelah melalui tahapan tes di pertengahan Februari 2018 akhirnya Bram berhasil diterima sebagai santri di Mahad Aly melalui jalur beasiswa empat tahun. Sebuah hasil dari perjuangan besar Bram untuk mendapatkan kesempatan emas. Dia harus lama menunggu ridho dari kami orangtuanya. Aku masih ingat betul, bagaimana dia  berjuang keras untuk bisa menguasai bahasa Arab. Berlelah-lelah untuk ikut daurah, belajar online, belajar di ustadz seminggu dua kali, bahkan ikut belajar di pondok Sedayu Gresik selama 20 hari Ramadhan.

 Selama hampir dua tahun mondok, Bram sudah pulang tiga kali dan aku baru sekali nengok sama Jay. Terharu rasanya saat melihat Bram memijat pundak dan punggung Jay karena masuk angin. Semoga mereka selalu saling menyayangi. Bram di pondok tinggal di asrama yang baru dibangun. Berteman para santri dari berbagai daerah di tanah air. Alhamdulillah Bram dipercaya sebagai pengelola bagian bahasa. Ini merupakan amanah sekaligus kesempatan serta tantangan baginya untuk makin menguasai bahasa Arab dan menjadikannya terbaik di beberapa kali ujian semester.

Setiap hari Minggu Bram mendapatkan kesempatan komunikasi dengan kami, keluarganya. Dia cerita kalau santri pondok yang tingkat SMA sudah dipulangkan sepekan yang lalu sehingga dia merasakan dampaknya. Bram menjadi kurang semangat, kepingin ikut pulang juga. Aku beri dia nasihat untuk penguatan. Ini adalah kehendak Allah SWT, pasti ada hikmah besar yang bisa diperoleh. Bram harus sabar, ikhlas, tenang, tapi tetap waspada dengan segala kemungkinan dan selalu menjaga kondisi imun tubuh.  

Di saat wabah pendemi covid-19 mulai merebak ke penjuru Indonesia dan dunia, segera aku kirim paket berisi beberapa kebutuhan harian. Ada lauk kering teri, sarden, kismis, madu, jahe dan camilan kesukaan, serta kebutuhan lain terkait menghadapi virus corona. Masker, tisue kering, tisue basah, dan  sabun cair. Selalu, setiap paket yang kukirim, aku sertakan surat untuknya sebagai motivasi.

“Bagaimana Nak, hafalanmu? Lancar ya?”.tanyaku pada Bram.‘Alhamdulillah Buk, tinggal empat jus lagi, Insyaallah Ramadhan nanti sudah selesai semua. Lomba tahfiz kemarin juga terbaik. Doakan terus ya Buk.

“Ohya Bu...alhamdulillah, secara administrasi aku lolos Bu, untuk seleksi UIM”. Ia menjawab, nampak senang dan semangat. Aku pun segera menjawabnya dengan gembira. “Alhamdulillah Nak... Kalau memang nantinya itu rezeki dari Allah untukmu, Ibu Bapak ikhlas... walau kita harus berjauhan. Ingat Nak... otak dan pikiran kita ini amanah. Banyak bersyukur ya, kamu diberi kemudahan berpikir, untuk itu...carilah ilmu sebanyak mungkin, yang nantinya kamu jadikan bekal untuk berkeluarga dan bermasyarakat” nasihatku pada Bram. Alhamdulillah, pihak pondok memberikan izin pada Bram untuk mendaftarkan diri kuliah di Universitas Islam Madinah.

Sore itu, berdesir angin lembut mengantarkan senja. Di atas hamparan hijau padi, di atas horizon,  kulihat langit indah berselimut awan tipis,  rona merah kuning keemasan. Sejenak matajiwaku merenawang ke arah sebuah desa pegunungan di wilayah kota hujan. Dari sebuah bangunan asrama santri yang berwarna hijau, keluar seorang pemuda tampan berangkat menuju masjid. Pemuda bergamis putih lengkap dengan peci Yaman,  beraroma harum segar  parfum Black Diamond.

Bram anakku, semoga Allah memberikan rahmat, dan memilihmu untuk mendapatkan hidayah. Selalu istikomah dalam ketaatan ya Nak, Ibu merindu mahkota Janatul Firdaus persembahan darimu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MERDEKA BELAJAR SEBAGAI SOLUSI MENGHADAPI COVID-19

  MERDEKA BELAJAR SEBAGAI SOLUSI MENGHADAPI COVID-19   A. MERDEKA BELAJAR           Istilah Merdeka Belajar diluncurkan pertama kali...