Dari balik jendela di kamarku
Menyelinap seberkas cahaya
Hingga ku terjaga segera ...
Syair lagu tahun sembilan
puluhan itu mengingatkanku pada Bram. Anak sulungku itu pernah bercerita kalau
masa kecil yang paling diingat adalah saat pagi, aku menyanyikan lagu itu
untuknya. Dua puluh satu tahun yang lalu. “Ayo, bangun sayang...,” rayuku
sambil menggendong Bram mungil berkulit putih dan hidung mancung. Senyum ceria,
dan bening binar matanya membuat hari-hari kami semakin indah.
Selepas lulus SMA, Bram diterima di fakultas
perikanan pada sebuah perguruan tinggi negeri di Jawa Timur. Sebelum masa
perkuliahan, Bram berangkat lebih awal untuk segera mencari tempat kos, karena mengikuti
bimbingan seleksi masuk sekolah kedinasan terfavorit dan terbanyak peminatnya
di tanah air.
“ Alhamdulillah Bu..., aku lolos
tahap tes tulis dan beberapa hari lagi tes kebugaran” kata Bram melalui WhatsAppnya.
Aku putuskan segera berangkat ke kota dingin itu untuk mendampingi Bram pada tahap seleksi
berikutnya. Aku sendirian naik bus, sore sudah sampai dan Bram pun siap
menjemput dengan motornya. Hujan cukup deras, membuat kami basah dan mampir ke
warung kecil. Teh hangat sudah cukup untuk menemani ngobrol.
Keesokan harinya, dini hari kami
sudah siap melaju ke tengah kota.“Permisi Pak, bolehkan saya ikut masuk untuk
memberi motivasi anak saya?” tanyaku kepada panitia pelaksana yang ada di
tribun stadion hijau itu. “Ohya Bu, silahkan...” jawabnya. Ribuan keluarga dari peserta seleksi, semuanya
menunggu di luar area yang berbatas anyaman kawat besi.
Kulihat Bram mempersiapakan diri di
antara peserta lainnya. Mereka mengenakan kaos seragam biru muda, bertuliskan
angka dan huruf hitam. “Ayo Nak...semangat...!” teriakku berkali-kali sambil
tepuk tangan saat Bram melalui depan posisiku. Dia tersenyum sejenak dan terus
berlari, dan berlari. Terik mentari yang menyengat tubuh, tak kupedulikan.
Akhirnya, tercapai sudah obsesi Bram
untuk masuk di kampus megah di bilangan Bintaro. Semester awal terlampaui
dengan mulus. Menjelang semester dua, Bram mengutarakan keinginannya untuk mengundurkan
diri dari tempat kuliahnya itu. Tentu saja kami sekeluarga tidak memberikan
izin. “Nak, jangan...Ibu khawatir nanti kamu menyesal, itu kan pilihanmu
sendiri, dan jurusanmu itu juga yang paling favorit...” ucapku.
Semester awal,
Bram terseleksi menjadi pengajar pada sebuah bimbel masuk kampus elitnya. Pada
semester berikutnya terseleksi menjadi pengajar ngaji. Kadangkala dia membeli
gamis atau kurta dari uang tabungan hasil kegiatannya itu. Ekstra keagamaan dan
rumah Qur’an yang dia ikuti menjadikan dia semakin cinta dan haus belajar
agama.
Suatu malam Bram menyampaikan kabar
gembira:“Bu, kalau ngabarin tentang hasil lomba, bukan riya’ kan? Dengan
catatan kabarnya cukup sampai keluarga aja, biar aman dari fitnah dan rasa
dengki orang lain.” Dia menyertakan sebuah foto selembar sertifikat warna putih
tulang. MasyaAllah, berbinar bahagia aku
membacanya. Bram juara satu Musabaqoh Tilawatil Qur’an dalam rangka Lomba
Festival Seni dan Budaya Islam di kampus. Segera kukabarkan berita itu kepada seisi
rumah.
“Alhamdulillah Nak...selamat ya
sayang...” ucapku. “Ada amplopnya Bu, belum aku buka, ” ucap Bram menambahkan.
Aku balas dengan emogi senyum manis, jempol dan cium mesra. “Nak, ini Ibu lagi sama
Mbah Uti, beliau nangis terharu bahagia....” Aku menceritakan, betapa kami yang
di rumah bahagia. Mbah Uti adalah panggilan untuk neneknya. Nenek yang mengasuhnya waktu kecil saat aku
harus bekerja. Nenek yang telah memberi warna dalam pendidikan dan kepribadian Bram.
Prestasi Bram makin cemerlang. Dia
berkesempatan mewakili kompetisi antar kampus
kedinasan hingga memeroleh kejuaraan tahfiz.Tentu saja aku memberikan
apresiasi untuk prestasinya.
Tiba saatnya Bram menjalani kuliah
hingga di tahap akhir, yaitu semester enam. Kuperhatikan saat Bram berangkat PKL
di kantor besar dan megah di tengah kota kami. Seragam atasan biru muda,
bercelana biru tua, rapi dengan sepatu baru dan tanda pengenal mahasiswa
bertali kuning. Tentu saja kami senang dan bangga karenanya.
Berangkat ke kantor sekitar pukul
setengah tujuh, pulang hampir maghrib. Bram tampak letih dan lelah, tanpa keceriaan
sama sekali. Pekan kedua, makin murung dan mulai uring-uringan. Pernah kudapati
dia mimisan. Hatiku mulai gundah, dan khawatir.
Saat malam, kami di kamar bertiga,
aku, Bram dan adiknya Bram, Jay namanya. Bram memulai pembicaraan: ”Bu, tolong
jangan tidur dulu, aku mau bicara” kata Bram. Aku merasa gundah, pasti ini
mulai lagi membahas tentang perkuliahan. Aku masih diam tidak menjawab, tiduran
membelakangi Bram. Berharap Bram tidak melanjutkan pembicaraan yang aku sudah
tahu arahnya.
“Bu..., sudah lebih dari dua tahun aku
nuruti ibu.... Aku berhak memilih jalanku sendiri. Apa Ibu bisa menjamin
agamaku selamat kalau aku tetap di situ?” Bram meneruskan bicaranya, aku masih
terdiam. Dadaku terasa berdebar kencang, tercekat.
“Bu...” Bram masih juga memanggilku
memohon penuh harap. Akhirnya aku jawab juga dengan berat hati: “Apa lagi Nak?
Ibu kan sudah jelaskan dulu di surat panjang itu” ucapku pelan dengan emosi
tertahan. Jay mendengarkan terdiam.
“Bu, aku merasa tidak cocok dengan
pekerjaan itu, aku tidak ingin jadi PNS. Jam kerjanya seperti ini, bagaimana
dengan ibadahku? Aku tidak nyaman kerja berbaur dengan lawan jenis, belum lagi
kadang harus mengikuti acara yang aku merasa tidak pas.
“Habis ini menyusun karya tulis,
berarti aku berkontribusi ilmu di bidang ini, dan aku tidak mau itu terjadi.
Setelah lulus nanti, lalu penempatan. Aku tidak mau terima gajinya. Jika aku
tidak mau menjalani, Ibu habis banyak untuk mengganti biaya saat kuliah.”
Ungkapan Bram membuat kami semua
terdiam.Malam hening makin larut terasakan sangat panjang. Suara detak jam
dinding, membuat suasanya dan hatiku makin tidak karuan.
“Bu, aku ingin mondok ..., apa Ibu
tidak ingin kupakaikan mahkota di surga?” Masyaallah..., kalimat Bram ini
membuat hatiku menangis, terharu bahagia. “Nak..., mungkin seribu satu yang
sepertimu. Dan, mungkin juga seribu satu yang seperti ibu. Ya sudah
sana...bilang Bapak. Dan, kamu harus pikirkan matang-matang dengan segala
konsekuensi dari pilihanmu, tidak boleh menyesal di kemudian hari!” jawabku
tegas.
Suasana di rumah
makin tidak nyaman, di kantor pun demikian. Rekan-rekan kerjaku yang kebetulan
dulu guru Bram, hampir semuanya bereaksi negatif, bahkan ada yang mencibir
memberiku komentar yang pedas dan menganggap keputusan Bram adalah suatu kebodohan.
Aku sudah tidak peduli semuanya. Bahkan aku menulis pengunduran diriku untuk
menduduki suatu jabatan. Aku harus kuat. Bram harus aku dampingi untuk meraih
mimpi berikutnya, masuk pondok pilihannya. Bram sangat butuh ridho dan doa kami
orangtuanya.
Jay kelihatan sangat kecewa dengan
keputusan kakaknya. “Bu, percuma aku belajar, Mas kok begitu...” ujarnya dengan
nada marah. Jay sejak kelas X sudah mempersiapkan diri meniti jejak Bram dengan
mengikuti tryout dan hasilnya sangat bagus.
“Nak, Mas Bram berhak memilih jalan hidupnya. Mas Bram sudah tidak minat,
bahkan sepertinya tersiksa. Kemarin sampai mimisan kan?. Semua pasti ada hikmahnya,
ini proses yang panjang dan tidak ada yang sia-sia. Mas lebih mengerti agama
karena kuliah di sana.” Aku berusaha untuk memberi pengertian pada Jay.
Seisi rumah,
suamikulah yang paling nampak kecewa dan marah. Hampir dua minggu tidak saling
sapa dengan Bram. Dia marah dan kecewa, hingga seisi rumah kena dampaknya. Kadang
masih mengungkit-ungkit saat perjuangan bersama Bram untuk mendaftar bimbingan
hingga daftar ulang serta mencari tempat kos di sekitar Jalan Kalimangso. Dia
sangat menyayangkan keputusan Bram.
Suatu sore, di teras belakang rumah, aku duduk mendekati
suamiku. Hari-hari belakangan sikapnya terhadapku pun tidak seperti biasanya,
kelihatan acuh. Aku memulai percakapan: “Mas..., njenengan biasa mersani TV tho?
(Mas..., kamu biasa melihat TV kan?)” Dia tetap diam, murung dan sedikit
cemberut.
“Mas..., berapa pejabat tinggi yang
dipenjarakan? bupati, gubernur, direktur-direktur? Di mana letak bahagia
mereka? keluarganya? Sudah tidak ada kedudukan, kehormatan, belum lagi
tanggungjawab di akherat kelak. Semua itu karena harta...harta, kedudukan yang melalaikan
dan tak ada berkesudahan untuk mendapatkannya.” Suasana tetap hening.
Suamiku masih juga terdiam, tidak
sedikitpun menoleh padaku. Kupandangi wajahnya yang tampak lebih tirus, tulang
pipi makin menonjol. Rupa-rupanya terasakan berat betul beban pikiran yang
dipikulnya. Ya Allah...berikan kesehatan, petunjuk, dan kelembutan hati bagi
suamiku... dalam hatiku berucap penuh harap.
Dengan nada pelan dan rendah, aku
kembali berkata: “Setiap ada peristiwa kelahiran, doa yang mengalir adalah ‘semoga
kelak menjadi anak sholeh sholehah’ bukan menjadi kaya atau berkedudukan. Dan, Bram anak kita...semoga menjadikan doa
kita semua terkabulkan. Dia juga bisa membimbing Jay untuk lebih baik.
Merekalah yang akan mendoakan kita kelak....”.Kupandangi terus suamiku penuh
harap, ada kilau bening di matanya.
Penuh puji syukur kepada Allah, sikap
suamiku berubah seratus delapan puluh derajat. Saat aku mengirim paket makanan
dan kebutuhan harian untuk Bram, dia sangat antusias, semangat dan penuh
perhatian. Tidak hanya itu, dia makin sering berjamaah ke masjid. Jay pun
demikian, makin sering ke masjid dan ikut pengajian.
Setelah melalui tahapan tes di pertengahan
Februari 2018 akhirnya Bram berhasil diterima sebagai santri di Mahad Aly
melalui jalur beasiswa empat tahun. Sebuah hasil dari perjuangan besar Bram
untuk mendapatkan kesempatan emas. Dia harus lama menunggu ridho dari kami
orangtuanya. Aku masih ingat betul, bagaimana dia berjuang keras untuk bisa menguasai bahasa
Arab. Berlelah-lelah untuk ikut daurah, belajar online, belajar di ustadz
seminggu dua kali, bahkan ikut belajar di pondok Sedayu Gresik selama 20 hari
Ramadhan.
Selama hampir dua tahun mondok, Bram sudah
pulang tiga kali dan aku baru sekali nengok sama Jay. Terharu rasanya saat melihat
Bram memijat pundak dan punggung Jay karena masuk angin. Semoga mereka selalu
saling menyayangi. Bram di pondok tinggal di asrama yang baru dibangun.
Berteman para santri dari berbagai daerah di tanah air. Alhamdulillah Bram
dipercaya sebagai pengelola bagian bahasa. Ini merupakan amanah sekaligus
kesempatan serta tantangan baginya untuk makin menguasai bahasa Arab dan menjadikannya
terbaik di beberapa kali ujian semester.
Setiap hari Minggu Bram mendapatkan
kesempatan komunikasi dengan kami, keluarganya. Dia cerita kalau santri pondok
yang tingkat SMA sudah dipulangkan sepekan yang lalu sehingga dia merasakan
dampaknya. Bram menjadi kurang semangat, kepingin ikut pulang juga. Aku beri
dia nasihat untuk penguatan. Ini adalah kehendak Allah SWT, pasti ada hikmah
besar yang bisa diperoleh. Bram harus sabar, ikhlas, tenang, tapi tetap waspada
dengan segala kemungkinan dan selalu menjaga kondisi imun tubuh.
Di saat wabah pendemi covid-19 mulai
merebak ke penjuru Indonesia dan dunia, segera aku kirim paket berisi beberapa
kebutuhan harian. Ada lauk kering teri, sarden, kismis, madu, jahe dan camilan
kesukaan, serta kebutuhan lain terkait menghadapi virus corona. Masker, tisue
kering, tisue basah, dan sabun cair.
Selalu, setiap paket yang kukirim, aku sertakan surat untuknya sebagai
motivasi.
“Bagaimana Nak, hafalanmu? Lancar
ya?”.tanyaku pada Bram.‘Alhamdulillah Buk, tinggal empat jus lagi, Insyaallah
Ramadhan nanti sudah selesai semua. Lomba tahfiz kemarin juga terbaik. Doakan
terus ya Buk.
“Ohya Bu...alhamdulillah, secara
administrasi aku lolos Bu, untuk seleksi UIM”. Ia menjawab, nampak senang dan
semangat. Aku pun segera menjawabnya dengan gembira. “Alhamdulillah Nak... Kalau
memang nantinya itu rezeki dari Allah untukmu, Ibu Bapak ikhlas... walau kita
harus berjauhan. Ingat Nak... otak dan pikiran kita ini amanah. Banyak
bersyukur ya, kamu diberi kemudahan berpikir, untuk itu...carilah ilmu sebanyak
mungkin, yang nantinya kamu jadikan bekal untuk berkeluarga dan bermasyarakat”
nasihatku pada Bram. Alhamdulillah, pihak pondok memberikan izin pada Bram
untuk mendaftarkan diri kuliah di Universitas Islam Madinah.
Sore itu, berdesir angin lembut
mengantarkan senja. Di atas hamparan hijau padi, di atas horizon, kulihat langit indah berselimut awan
tipis, rona merah kuning keemasan. Sejenak
matajiwaku merenawang ke arah sebuah desa pegunungan di wilayah kota hujan.
Dari sebuah bangunan asrama santri yang berwarna hijau, keluar seorang pemuda
tampan berangkat menuju masjid. Pemuda bergamis putih lengkap dengan peci Yaman,
beraroma harum segar parfum Black Diamond.
Bram anakku, semoga Allah memberikan
rahmat, dan memilihmu untuk mendapatkan hidayah. Selalu istikomah dalam
ketaatan ya Nak, Ibu merindu mahkota Janatul Firdaus persembahan darimu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar